Nasib tragis tenaga kerja wanita (TKW) Indonesia kini menimpa lagi seorang PRT migran Indonesia yang bekerja di Saudi Arabia. Ia adalah Ruyati binti Sapubi yang dieksekusi mati di Saudi Arabia.
Migrant CARE mengatakan, eksekusi mati ini, membuktikan bahwa pidato Presiden SBY pada sidang ILO ke 100 pada 14 Juni 2011 mengenai perlindungan PRT migran di Indonesia, hanya buaian saja.
“Dalam pidato itu, Presiden SBY menyatakan di Indonesia mekanisme perlindungan terhadap PRT migran Indonesia sudah berjalan, tersedia institusi dan regulasinya. Tentu saja pidato ini menyejukkan dan menjanjikan. Namun buaian pidato tersebut tiba-tiba lenyap ketika hari Sabtu, 18 Juni 2011 muncul berita di berbagai media asing. Mengenai pelaksanaan eksekusi hukuman mati dengan cara dipancung terhadap Ruyati binti Sapubi, PRT migran Indonesia yang bekerja di Saudi Arabia,” tulis Migrant CARE, dalam rilisnya, Minggu (19/6/2011).
Peristiwa ini, menurut Migrant CARE, jelas memperlihatkan apa yang dipidatokan Presiden SBY di ILO tidak sesuai dengan realitas. Dalam soal hukuman mati terhadap PRT migran dan warga negara Indonesia di luar negeri, diplomasi luar negeri Indonesia terlihat sangat tumpul.
“Di Saudi Arabia, ada sekitar 23 warga negara Indonesia (mayoritas PRT migran) menghadapi ancaman hukuman mati. Kasus terakhir yang muncul ke permukaan adalah ancaman hukuman mati terhadap Darsem. Dalam kasus ini pemerintah Indonesia lebih berkonsentrasi dalam pembayaran diyat (uang darah) ketimbang melakukan advokasi litigasi di peradilan maupun diplomasi secara maksimal,” kecam Migrant CARE.
Menurut Migrant CARE, eksekusi mati terhadap Ruyati binti Sapubi merupakan bentuk keteledoran diplomasi perlindungan PRT migran Indonesia. Dalam kasus ini, publik tidak pernah mengetahui proses hukum dan upaya diplomasi apa yang pernah dilakukan oleh pemerintah Indonesia.
Migran CARE mengungkapkan bahwa keteledoran ini juga pernah terjadi pada kasus eksekusi mati terhadap Yanti Iriyanti, PRT migran Indonesia asal Cianjur yang juga tidak pernah diketahui oleh publik sebelumnya. Bahkan hingga kini jenasah Yanti Iriyanti belum bisa dipulangkan ke tanah air atas permintaan keluarganya.
Migrant CARE menjelaskan, perkembangan kasus Ruyati binti Sapubi ini sebenarnya telah disampaikan ke pemerintah Indonesia sejak bulan Maret. Namun ternyata tidak pernah ada tindak lanjutnya.
Migrant CARE menyatakan duka sedalam-dalamnya atas eksekusi mati terhadap almarhumah Ruyati binti Sapubi. Atas kasus ini pula Migrant CARE mendesak Presiden SBY untuk mengusut tuntas keteledoran diplomasi perlindungan PRT migran Indonesia.
Migrant CARE juga mendesak agar dilakukan evaluasi kinerja (dan jika perlu pencopotan) terhadap para pejabat yang terkait dengan keteledoran kasus ini seperti Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Menteri Luar Negeri, Kepala BNP2TKI dan Duta Besar RI untuk Saudi Arabia.
Migrant CARE mengatakan, eksekusi mati ini, membuktikan bahwa pidato Presiden SBY pada sidang ILO ke 100 pada 14 Juni 2011 mengenai perlindungan PRT migran di Indonesia, hanya buaian saja.“Dalam pidato itu, Presiden SBY menyatakan di Indonesia mekanisme perlindungan terhadap PRT migran Indonesia sudah berjalan, tersedia institusi dan regulasinya. Tentu saja pidato ini menyejukkan dan menjanjikan. Namun buaian pidato tersebut tiba-tiba lenyap ketika hari Sabtu, 18 Juni 2011 muncul berita di berbagai media asing. Mengenai pelaksanaan eksekusi hukuman mati dengan cara dipancung terhadap Ruyati binti Sapubi, PRT migran Indonesia yang bekerja di Saudi Arabia,” tulis Migrant CARE, dalam rilisnya, Minggu (19/6/2011).
Peristiwa ini, menurut Migrant CARE, jelas memperlihatkan apa yang dipidatokan Presiden SBY di ILO tidak sesuai dengan realitas. Dalam soal hukuman mati terhadap PRT migran dan warga negara Indonesia di luar negeri, diplomasi luar negeri Indonesia terlihat sangat tumpul.
“Di Saudi Arabia, ada sekitar 23 warga negara Indonesia (mayoritas PRT migran) menghadapi ancaman hukuman mati. Kasus terakhir yang muncul ke permukaan adalah ancaman hukuman mati terhadap Darsem. Dalam kasus ini pemerintah Indonesia lebih berkonsentrasi dalam pembayaran diyat (uang darah) ketimbang melakukan advokasi litigasi di peradilan maupun diplomasi secara maksimal,” kecam Migrant CARE.
Menurut Migrant CARE, eksekusi mati terhadap Ruyati binti Sapubi merupakan bentuk keteledoran diplomasi perlindungan PRT migran Indonesia. Dalam kasus ini, publik tidak pernah mengetahui proses hukum dan upaya diplomasi apa yang pernah dilakukan oleh pemerintah Indonesia.
Migran CARE mengungkapkan bahwa keteledoran ini juga pernah terjadi pada kasus eksekusi mati terhadap Yanti Iriyanti, PRT migran Indonesia asal Cianjur yang juga tidak pernah diketahui oleh publik sebelumnya. Bahkan hingga kini jenasah Yanti Iriyanti belum bisa dipulangkan ke tanah air atas permintaan keluarganya.
Migrant CARE menjelaskan, perkembangan kasus Ruyati binti Sapubi ini sebenarnya telah disampaikan ke pemerintah Indonesia sejak bulan Maret. Namun ternyata tidak pernah ada tindak lanjutnya.
Migrant CARE menyatakan duka sedalam-dalamnya atas eksekusi mati terhadap almarhumah Ruyati binti Sapubi. Atas kasus ini pula Migrant CARE mendesak Presiden SBY untuk mengusut tuntas keteledoran diplomasi perlindungan PRT migran Indonesia.
Migrant CARE juga mendesak agar dilakukan evaluasi kinerja (dan jika perlu pencopotan) terhadap para pejabat yang terkait dengan keteledoran kasus ini seperti Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Menteri Luar Negeri, Kepala BNP2TKI dan Duta Besar RI untuk Saudi Arabia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar